بسم الله الرّحمن الرّ حيم
NADZOM 04
وَ الِهٍ وَ صَحْبِهِ وَ مَنْ تَبِ عْ سَبِيلَ دِ يْنِ الْحَقِّ غَيْرِمُبْتَدِعْ
“Dan atas keluarganya, para sahabatnya, dan orng yang mengikuti (menempuh) jalan agama yang hak tanpa ditambah-tambah”
Penjelasan :
Perkataan nazhim (Syekh Ahmad Al Marzuki) wa alihi wa shohbihi yaitu yang dimaksud dengan keluarga disini adalah semua orang mukmin, diantaranya adalah Para Nabi dan umatnya.
Selanjutnya yang di maksud Para Sahabat adalah orang yang pernah berkumpul bersama Nabi SAW setelah menjadi Rasul, mereka beriman, sekalipun sebelum perintah dakwah semasa hidup beliau di bumi, sekalipun dalam keadaan gelap atau mereka buta, sekalipun mereka tidak merasakan adanya Nabi. Dan termasuk sahabat adalah Nabi Isa AS, Nabi Khodir AS, dan Nabi Ilyas AS.
Dan termasuk sahabat adalah Para Malaikat yang pernah berkumpul dengan Rasulullah di bumi.
Nabi Isa AS adalah sahabat terakhir dari golongan manusia yang suci. Adapun malaikat maka tetap menjadi sahabat Nabi sampai ditiup sangkakala (hari kiamat). Menurut pendapat yang mu’tamad (yang disepakati oleh para ulama) yaitu menyimpulkan bahwa Nabi Khodir dan Nabi Ilyas masih hidup.
Nabi Ilyas adalah seorang Rasul menurut nash (dalil) Al Qur’an. Berdasarkan firman Allah ta’ala dalam Al Qur’an surat Ash Shoffat ayat 123, yaitu :
وَاِنَّ الـَْيَاسَ لَمِنَ الْمُرْسَلِيْنَ
“Dan sesungguhnya ilyas benar-benar termasuk salah seorang rasul-rasul.”
(QS. Ash Shoffat : 123)
Adapun Nabi Khodir, ada yang berpendapat bahwa ia adalah seorang Wali, dan ada yang berpendapat bahwa ia adalah seorang Nabi dan ada yang berpendapat ia seorang Rasul. Tetapi perkara yang baik adalah yang pertengahannya yaitu bahwa ia adalah seorang Nabi.
Yang dimaksud dengan tabi’in dalam perkataan nazhim dalam kitab Aqidatul Awwam yaitu waman tabi’ adalah semua orang yang datang setelah Para Sahabat yakni semua orang mu’min sampai hari pembalasan.
Ucapan nazhim sabiiladinil haqi (jalan agama yang benar).
Syekh Al Fayumi mengatakan di dalam kitab misbah, yaitu: “jalan (sabil) adalah jalan (thariq) baik dalam bentuk mudzakar atau muannats”.
Sedangkan Syekh Ibnu Sikkit mengatakan, yaitu : “jamak muannats lafazh sabil adalah subul, sebagaimana mereka berkata ‘unuq, dan jamak mudzakar-nya adalah subul”.
Jalan-jalan agama adalah hukum-hukum syariat, dan Al haq (yang benar) adalah setiap sesuatu yang sesuai dengan Al Qur’an dan Sunnah.
Perkataan nazhim ghoiro mubtadi’ (bukan orang yang membuat bid’ah). Para ulama mengatakan bahwa Bid’ah secara bahasa adalah sesuatu yang baru yang tidak mengikuti aturan yang terdahulu, dan menurut syariat adalah sesuatu yang diperbaharui diatas landasan yang
bertentangan dengan perintah syariat (hukum Allah dan Rasulnya).
Para ulama mengatakan bahwa bid’ah secara bahasa adalah sesuatu yang baru yang tidak mengikuti aturan terdahulu, dan menurut syariat adalah sesuatu yang diperbaharui diatas landasan yang bertentangan dengan perintah syariat (hokum Allah dan Rasulnya).
Bid’ah dari segi terbagi menjadi lima bagian, yaitu:
1. Bid’ah wajib, yaitu perkara baru yang diperoleh dari kaidah-kaidah wajib dan dalil-dalil syariat, seperti membukukan Al Qur’an dan ilmu-ilmu syariat,
sebagian ulama muta-akhirin menambahkan: “termasuk bid’ah-bid’ah yang wajib kifayah adalah menyibukan diri dengan ilmu-ilmu berbahasa arab yang menjadi tumpuan dalam memahami al-qur’an dan hadits, seperti ilmu nahwu, shorof, ma’ani, bayan, dan bahasa arab.
Ø Sibuk dengan upaya membedakan hadits yang shohih dari hadits yang rusak (ilmu mustholaah hadits), sibuk dengan upaya membukukan ilmu hadits, ushul fiqh dan dalil-dalilnya.
2. Bid’ah Haram, yaitu bid’ah yang dihasilkan oleh kaidah-kaidah yang mengharamkan dan ada dalil-dalil syara’-Nya, seperti mendahulukan orang bodoh atas para ulama.
3. Bid’ah Sunnah, yaitu perkara yang dihasilkan (berasal) dari kaidah-kaidah sunnah dan dalil-dalilnya, seperti sholat tarawih berjama’ah.
Sebagian ulama menambahkan diantara bid’ah sunnah adalah membangun pesantren, madrasah dan setiap yang baik, yang tidak ada pada zaman awal islam (zaman nabi dan para sahabat), dan bebicara tentang kehalusan (kelembutan) tasawuf.
4. Bid’ah Makruh, yaitu perkara yang dihasilkan dari dalil-dalil dan kaidah-kaidah yang makruh menurut syariat, seperti menentukan hari yang dianggap lebih utama dari hal-hal lainnya untuk melakukan ibadah.
5. Bid’ah Mubah, yaitu perkara yang dihasilkan oleh dalil-dalil mubah menurut syariat dan kaidah-kaidahnya, seperti membuat ayakan tepung.
To be continued………………………
Komentar :
Post a Comment