بسم الله الرّحمن الرّ حيم
NADZOM 05
وَبَعْدُ فَاعْلَمْ بِوُجُوْبِ الْمَعْرِفَةْ مِنْ وَاجِبِ ِللهِ عِشْرِيْنَ صِفَةْ
“Dan selanjutnya, ketahuilah dengan yakin bahwa Allah itu mempunyai
20(dua puluh) sifat yang wajib”
Penjelasan:
Yakni setelah Syekh Ahmad Al Marzuki menyebutkan Basmalah, Hamdalah, Sholawat, dan salam, maka ia katakan ketahuilah, yakni kenalilah dan yakinilah wahai orang mukallaf akan Dua Puluh Sifat Wajib bagi Allah ta’ala secara terperinci (tafsil).
Karena mengenal Allah hukumnya wajib bagi setiap orang mukallaf. Dan hati-hati dengan taklid karena keadaan imanmu akan menjadi diperselisihkan di dalamnya.
Perkataan nazhim I’lam dengan makna I’rif (ketahuilah), seperti Firman Allah di dalam surat Al Anfal ayat 60, yaitu:
تَعْلَمــُوْ نَــهُمْ اَ للهُ يَــعْلَمُهُمْ
“… yang kamu tidak mengetahuinya,
sedang Allah mengetahuinya …”
(QS. Al Anfal : 60)
Maksudnya, engkau tidak mengenal mereka, sedang Allah mengenal mereka. Sesungguhnya nazhim (Syekh Ahmad Al Marzuki) mengungkapkan dengan kata I’lam sebagai peringatan bagi orang yang mendengar agar ucapan yang dikatakan harus dijaganya, karena menjaganya adalah sumber segala kebaikan, dan sebagai isyarat bahwa sesungguhnya pekerjaan mencari ilmu adalah pekerjaan yang paling utama.
Ucapan beliau bi-wjubil ma’rifah berhubungan (ta’alluq) dengan lafazh I’lam, maka huruf ba’nya berfaidah mulabasah (mengerjakan) yakni mengerjakan akan kewajiban ma’rifah.
Ucapan beliau min wajibin menjadi bayan (penjelas) bagi kata ’isyruna, dan ucapan beliau ‘isyruna’ menjadi maful bih lafazh I’lam, dan perkataan sifah menjadi tamyiz dan menjelaskan peristiwa yang dialami kata ‘isyruna dan dibaca nashob dengan kata ‘isyrina.
Syekh Syarbiniy mengatakan bahwa sesungguhnya wajib atas mukallaf menurut syara’ mengetahui Dua Puluh Sifat secara terperinci serta meyakini bahwa Allah ta’ala memiliki sifat-sifat wajib dan sifat-sifat yang sempurna yang tidak ada ujungnya (tidak terbatas).
Hakikat ma’rifah adalah kepastian sesuai dengan yang hak yang timbul dari dalil. Adapun taklid adalah meyakini pendapat kandungan orang lain, tindakan dan ketetapannya tanpa ia mengetahui dalilnya.
Dan bukan termasuk taklid, yaitu meraka merupakan orang-orang yang arif (mengenal Allah).
Diperdebatkan pada orang yang taklid dalam ilmu a’qoid (ilmu akidah) atas enam pendapat, yaitu:
1. Cukup(sah) taklid serta berdosa, jika ia mempunyai kemampuan untuk berpikir, jika tidak maka tidak berdosa taklid ini. Pendapat ini yang dipegang oleh para ulama (Mu’tamad).
2. Tidak cukup (tidak sah) dengan bertaklid, sehingga orang-orang yang bertaklid menjadi kafir (pendapat Syekh Sanusiy)
Syekh Abdurrohman Al Muniy mengatakan bahwa pendapat tersebut berdasarkan atas larangan taklid, karena ma’rifat (mengetahui allah) adalah syaratr sah iman. Yang benar adalah pendapat sebaliknya.
3. Taklid sah tapi berdosa (secara) mutlak, baik ia mampu berpikir maupun tidak.
Syekh Al Muniy mengatakan bahwa pandangan ini ditolak (tidak benar). Kemudian beliau mengatakan pula bahwa obyek perselisihan terletak pada masalah orang yang taklid. Maka orang yang taklid itu adalah kafir (hukumnya), menurut kesepakatan ulama.
4. Sesungguhnya orang yang taklid pada Al-Qur’an dan Sunnah yang pasti, maka imannya adalah sah karena ia mengikuti (pada sesuatu) yang pasti. Dan siapa saja yang taklid bukan seperti itu, maka imannya tidak sah karena tidak ada jaminan selamat dari sesuatu yang tidak ma’shum (terjaga dari salah).
5. Cukup taklid serta tidak berdosa (secara) mutlak, karena berpikir adalah syarat dari kesempurnaan, maka barang siapa yang mampu berpikir dan ia tidak mau berpikir, maka ia telah meninggalkan yang lebih utama, seperti dituturkan oleh Syekh Baijuri.
Syekh Al Muniy mengatakan bahwa atas dasar ini berpikir yang dapat menyampaikan kepada ma’rifat (pengetahuan tentang Allah) hukumnya disunnahkan.
6. Sesungguhnya iman orang yang taklid itu sah, dan haram baginya berpikir dan ini adalah pendapat yang dikandung artikan atas pemikiran yang bercampur dengan fisafat.
To be continued………………………
Komentar :
Post a Comment